Beranda

Senin, 12 November 2012

Jikalau Sekolah diBubarkan Saja

 
Lomba Blog Gerakan Indonesia Berkibar

Minggu malam kemarin, saya iseng berjalan sendirian mengisi luang waktu menuju pameran buku. Karena tidak berniat membeli atau mencari buku apapun, mata saya hanya sedikit ‘jelalatan’ membaca judul buku-buku baru yang mungkin saja menarik. Ternyata justru bukan judul buku yang menarik perhatian saya, tetapi gambar cover depan yang putih merona, lalu ada pensil patah ditengahnya, judulnya “Sekolah Bubarkan Saja” karangan Chu-Diell. Saya tidak sampai membeli, memang. Tapi karena tidak disegel, saya dapat leluasa untuk membaca sepuasnya.

Buku ini sedikit banyak mengupas realitas yang ada mengenai persepsi murid terhadap sekolah. Sekolah dalam artian di sini cukup luas. Bisa jadi guru (pengajar)nya, kurikulumnya, tata tertibnya, maupun fasilitasnya. Membaca sekilas isi buku ini membuat saya berpikir, bahwa berbicara mengenai guru, sudah sering kita dengar pepatah lama bahwa guru adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang mengajar tanpa pamrih. Mungkin itu benar, tapi itu dulu. Seiring dengan berkembangnya zaman serta kemajuan teknologi, tak ayal tidak semua tenaga pengajar mampu mengikutinya. Ada guru yang ‘kekeuh’ mengajar dengan caranya sendiri (seperti tetap menggunakan cara klasik, berbicara di depan sampai jam pelajaran usai atau sibuk menulis sendiri di papan tulis bagaikan berbicara dengan kapurnya), tanpa mempedulikan muridnya paham atau tidak, mengerti maksud pelajaran yang disampaikan atau belum, bisa saja materi yang disampaikan justru tidak acceptable. Belum lagi, semua murid masih diwajibkan untuk diam ditempat dan tangan dilipat. Satu-satunya hal yang masih bisa dicontoh dari sikap guru yang seperti itu adalah dia begitu konsisten, konsisten terhadap ketertinggalannya. Oh Gosh!

Disamping guru, yang banyak terjadi sekarang ini adalah pihak sekolah yang lebih mengejar angka, banyak mengikuti olimpiade sains, dan prestasi kuratif lainnya, karena kebelet pengen segera menaikkan peringkat atau di cap sebagai salah satu sekolah favorit. Padahal terkadang anggapan sekolah bagus itu diciptakan malah dari pihak lain di luar murid. Sebagai seseorang yang pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi siswa, keinginan masuk sekolah favorit itu biasa terjadi hanya untuk menjaga image, supaya tidak malu dibilang ini itu oleh tetangga dan teman-teman. Sisanya, ya hanya ingin belajar dengan santai, mengembangkan diri dan kreativitas di kegiatan ekskul, atau sesekali ingin mencicipi rasanya membolos. Padahal sudah sering kita dengar, otak pintar itu jelas bukan jaminan. Orang pintar kalah dengan orang cerdas. Orang cerdas saja masih bisa kalah dengan orang beruntung. Para siswa yang terus menerus ditekan dengan berbagai tuntutan dari sekolah justru memperbesar keinginan mereka untuk bebas, melarikan diri. Yang dapat disaksikan sekarang faktanya adalah semakin maraknya prosesi tawuran oleh oknum pelajar. Selain itu, timbul banyak kecurangan sana-sini ketika Ujian Nasional yang disinyalir berasal dari pihak sekolah. Mengapa bisa terjadi? Penyebab utamanya adalah minat bakat individu yang dipangkas oleh pilihan jurusan sekolah yang terbatas sehingga membunuh daya kreatifnya. Paradigma pendidikan sekolah hanya menempatkan siswa sebagai objek yang harus menurut peraturan sekolah, rajin mengerjakan tugas, disiplin hadir di sekolah dan menyimak total dengan seksama pelajaran-pelajaran yang disampaikan guru di kelas, membuat suasana belajar menjadi tidak nyaman dan membosankan.

Hal yang paling mudah untuk diperbaiki menurut saya memang berawal dari pengajar. Jika guru sudah mempunyai kelekatan dan kedekatan secara emosional, saya yakin kondisi yang tercipta akan lebih kondusif dan saling memahami satu sama lain, tidak ada yang merasa terkekang dengan kata se-ko-lah. Tidak banyak lagi anak-anak yang putus sekolah di tengah jalan hanya karena takut dengan gurunya atau tidak berselera belajar (kasus ini benar-benar ada dan nyata di dusun saya. Serius!). Dari beberapa artikel yang pernah saya baca, ada beberapa hal dasar yang bisa dilakukan, misalnya : guru semestinya tidak berpikir egosentris, peka terhadap perubahan suasana kelas, melakukan komunikasi yang efektif, serta melakukan persiapan mengajar sebelumnya. Sekarang juga sudah marak dianjurkan agar guru menggunakan sistem quantum teaching.

Pertanyaan besar selanjutnya, bisakah guru memberikan itu semua, kalau kurikulum pendidikan yang disarankan pemerintah saja selalu berubah-rubah. Mirip seperti musim buah, ganti menteri ganti juga penerapan kurikulumnya. Guru kebingungan, sekolah pun kelabakan. Coba saja tanyakan orang-orang yang lahir tahun 80an, 90an, 2000an, sampai sekarang 2012, jawaban mereka pasti akan beda-beda ketika ditanya kurikulum apa yang dulu dipakai. Ada Rencana Pelajaran Terurai, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan yang terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Saya sangat percaya mungkin niatan pemerintah meng-amburadul-kan kurikulum layaknya kelinci percobaan seperti itu baik. Niatnya lo yang baik, tapi sayangnya tidak diimbangi dengan pelaksanaan yang matang. Kalau sudah begini, guru, pihak sekolah, kurikulum, atau pemerintah, mau salahkan yang mana??
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rain Cloud