Beranda

Senin, 03 Juni 2013

Resensi : Rumah Cokelat



Judul : Rumah Cokelat
Pengarang : Sitta Karina
Penerbit : Buah Hati
Cetakan : III, Maret 2012
Tebal : 226 halaman

“Jagain Ibu ya, Nak. Hormati perempuan. Kalau nanti Razsya sudah besar dan mau berbuat seenaknya ke perempuan, ingat Ibu. Menyakiti mereka sama dengan menyakiti Ibu.” (Wigra)

Selesai membaca novel ini, saya akhirnya benar-benar membuktikan bahwa testimonial yang dibeberkan diawal halaman tidak bohong. Novel ini keren sekaleeeeee! Padahal sejujurnya saya belum berumah tangga, tapi mbak Ari (Sitta Karina) benar-benar bisa membawa saya memposisikan diri “jika menjadi Hannah”.

Rumah Cokelat, sama seperti judulnya, menceritakan tentang warna-warni keluarga kecil dan seabkrek problematikanya. Mulai dari babysister pulang kampung dan akhirnya berhenti bekerja, pola asuh yang berbeda antara ibu mertua dan orang tua, buah hati yang tak hentinya protes mengapa kedua orang tuanya tak pernah menemaninya bermain, sampai pada titik dimana akhirnya menemukan fakta bahwa si Anak lugu mengungkapkan dia lebih menyayangi mbak pengasuh dibanding ibunya sendiri. Bukankah itu menohok semua ibu-ibu muda yang mengalaminya? Itu juga yang dialami Hannah Andhito, wanita muda dengan karir cemerlang, suami siaga dan pengertian, serta Raszya, satu jagoan yang begitu aktif.

“Kita nggak bisa kembali ke masa lalu, nggak bisa menghapus kesalahan yang pernah kita perbuat, juga nggak bisa mengulang kebahagiaan kecil yang dulu malah kita remehkan. Makannya aku sangat, sangat mensyukuri apa yang kupunya sekarang, kalau ada kesulitan sedikit, coba dijalani dengan ikhlas saja. Kalau ada kebahagiaan walau kecil, sebisa mungkin dinikmati. Intinya menjalani hidup dengan sadar, tapi tidak terbebani.” (halaman 124)

Permasalahan dalam keluarga baru nan kecil, dan (semestinya) menyenangkan tak berhenti hanya pada persoalan internal saja. Permasalahan dari luar semacam godaan orang ketiga juga tak bisa dipungkiri. Dan beruntungnya Hannah karena mempunyai suami seperti Wigra, yang tahan godaan para wanita rekan kerja dan mantannya, serta betapa hero-nya karena telah membela sang istri dari godaan Banyu, teman dari sahabat Hannah yang begitu ingin memiliki Hannah.
Ini cuplikan dialog Wigra dengan Razsya di playground malam hari yang sukses membuat mata saya berkaca-kaca :
“Raz...”
“Ya, Ayah.”
“Jagain Ibu ya, Nak. Hormati perempuan. Kalau nanti Razsya sudah besar dan mau berbuat seenaknya ke perempuan, ingat Ibu. Menyakiti mereka sama dengan menyakiti Ibu.” (halaman 171)

Banyaknya hal-hal yang sejauh ini mengganggu pikirannya, akhirnya Hannah sampai pada dilema untuk mengambil keputusan tersulit dalam hidupnya, antara melepas pekerjaannya di masa-masa karirnya sedang menanjak demi putranya, atau tetap bertahan menjadi wanita karir tetap keluarga terbengkelai, dan Razsya sama sekali jauh dari perhatian dan didikannya.
Masalah itu pilihannya cuma dua, mau diselesaikan atau tidak. Untuk dapan menyelesaikannya, kita butuh niat untuk benar-benar menyelesaikan---serta komunikasi. (halaman 198)

“Mana yang benar, mana yang seharusnya dilakukan, seringkali itu bukan hal yang menguntungkan.” (halaman 209)

Namun Begitulah Tuhan menakdirkan, masalah tak seterusnya menyertai asal kita tau apa yang harus kita pilih dan kita jalani. Setelah memasuki masa-masa sulit adaptasi menjadi ibu rumah tangga, bertentangan dengan pola asuh ibunya, dan harus kehilangan Upik, babysister Razsya yang cukup membantu kerepotannya selama ini, akhirnya Wigra membawa kabar baik bahwa ia dipindah tugaskan ke Washington. Ini bagi Wigra—dan Hannah, adalah awal hidup yang baru bagi mereka, untuk menentukan warna keluarga mereka sendiri, mandiri.

“Menurut Wigra, uang dicari bukan hanya untuk seluruhnya ditabung, atau seluruhnya dihambur-hamburkan. Mengapresiasi diri—dan keluarga—kita dengan hasil kerja keras juga merupakan hal penting. Just like he once quoted, life is also about dancing in the rain.” (halaman 214)

Yahh, sumpah novel ini salah satu cermin dimana seorang ayah dan suami harus menjunjung tinggi wanita dan menghargai peranannya, baik sebagai wanita karir ataupun ibu rumah tangga. Dan kesimpulannya, menjadi ibu rumah tangga di masa sekarang bukanlah pilihan yang buruk :)

Terus terus terus dan terus giatkan membaca ya cwinttts,
saya juga terus terus terus dan berdoa nih biar besok suami saya se-cool Wigra, aha!

Rain Cloud