Teriakan para tetangga semakin terdengar keras seiring bunyi suara puluhan telapak sandal yang berlarian ke arah utara. Semua warga mencoba untuk keluar rumah dan menyelamatkan diri masing-masing. Untung-untung masih ada yang sempat mengingat anggota keluarganya yang tertinggal.
“Bapak...” lirih suara itu terdengar dari dalam rumah semi modern yang sudah tidak berbentuk karena halaman depannya dipenuhi reruntuhan.
“Simbok...” sekali lagi suara itu terdengar pelan. Merintih. Sia-sia. Di depan matanya nyaris tak terlihat lagi cahaya selain tumpukan bebatuan. Yang dipanggil tak satupun yang menyahut. Untuk kedua kalinya tubuh mungilnya tergoncang karena getaran bercampur dengan tangisan. Bocah duabelas tahun itu sangat ketakutan.