Beranda

Minggu, 30 Januari 2011

Mata Malaikat Dari Bapak

 [dedicated for Bantul earthquacke victims]

AllahuAkbar... AllahuAkbar!”
Teriakan para tetangga semakin terdengar keras seiring bunyi suara puluhan telapak sandal yang berlarian ke arah utara. Semua warga mencoba untuk keluar rumah dan menyelamatkan diri masing-masing. Untung-untung masih ada yang sempat mengingat anggota keluarganya yang tertinggal.
“Bapak...” lirih suara itu terdengar dari dalam rumah semi modern yang sudah tidak berbentuk karena halaman depannya dipenuhi reruntuhan.
“Simbok...” sekali lagi suara itu terdengar pelan. Merintih. Sia-sia. Di depan matanya nyaris tak terlihat lagi cahaya selain tumpukan bebatuan. Yang dipanggil tak satupun yang menyahut. Untuk kedua kalinya tubuh mungilnya tergoncang karena getaran bercampur dengan tangisan. Bocah duabelas tahun itu sangat ketakutan.

Jumat, 28 Januari 2011

[Episode 1] Ini tentang Cemara!

Aku hanya ingin mencintaimu.
selalu. dengan sederhana.
tak bersyarat.
tak berderajat.

Bait puisi itu tak henti-henti bergaung dalam pikiran Cemara. Ribuan kali kertas lusuh yang tersimpan rapi dalam buku harian terakhirnya itu dibacanya. Bahkan Ara tak perlu lagi membacanya teliti, karena setiap kata disetiap spasi itu telah dihafalnya. Fasih. Diluar kepala. Satu-satunya puisi yang paling dia gemari, selama hidup mungkin. Tak pernah ada dalam kamusnya untuk berubah menjadi seorang pribadi romantis, yang mengumbar kata-kata "menye-menye", yang berusaha terharu dengan sajak-sajak tiap kalimat yang biasanya justru memunculkan banyak persepsi. Satu orang, satu persepsi. Buatnya itu sulit dimengerti. Ara lebih suka tanpa basa-basi. Apapun, lebih baik langsung menuju pada masalah inti. Tapi selembar puisi itu lain. Puisi itu bisa disebut istimewa, walaupun untuk mengetahui seberapa besar keistimewaannya harus diawali dengan kata t-e-r-l-a-m-b-a-t.

Rain Cloud