Beranda

Minggu, 15 September 2013

Aku Takut Mati, Tapi Aku Mau

"Gerimis, faa." kataku malam itu. Ketika lampu sorot sejenak memperlihatkan keanggunan rintikan air yang turun menjadi berwarna ungu. Aku diam, fokus ke depan, melihat tampilan salah satu kelompok akustik yang sedang bermain di depan.
"Coba deh kamu lihat ke atas." balasnya. Aku mendongak.
Awalnya aku tak mengerti. Tapi kucoba sebentar lagi. Melihat awan yang tanpa bintang, tidak kelam tapi jingga. Membiarkan muka dihela tetes air lembut.
"Gimana, enak kan?" katanya lagi, menanyakan reaksiku yang sudah cukup lama tak berkata.
"Aku jadi kepengen nangis, faa." kataku pelan. Sambil tertawa sedikit.

Faa tahu aku menyukai hujan, mencintai hujan. Tapi baru kemarin aku paham satu lagi bagaimana cara sederhana menikmatinya. Faa yang mengajarinya. Cukup berani berdiri dibawah hujan, dongakkan kepala ke atas, dan ingatlah apa yang ingin kamu ingat. Marahlah untuk sesuatu yang kamu ingin marah. Keluarkan segala yang kamu rasakan. Cukup dengan pejaman mata, dan semua akan tersampaikan pada Tuhan dengan sempurna :)



Malam kemarin itu yang aku dapat. Aku seperti bisa berkomunikasi pada Tuhan, tentang apa yang aku ingin katakan, apa yang aku rindukan, apa yang aku keluhkan. Tuhan tampaknya tahu aku begitu merindukanNya. Malam itu aku menyampaikan banyak hal dalam tatapanku ke arah rumahNya. Malam kemarin juga Tuhan mengatakan padaku, "belum waktunya datang."
Aku sempat takut. Aku dan Faa sudah berjuang agar bisa bernyanyi berteriak keras-keras di depan panggung tempat kami menunggu bintang tamu terakhir keluar. Kami sudah bertepuk tangan dan bersiap ikut melonjak saat tiba-tiba bagian tubuh sebelah kiri-ku terasa sakit dan lemas. Pandangan buram, dan aku mulai tak bisa mendengar apa yang orang-orang elukan. Satu pikiran yang terlintas olehku, ini sudah waktunya. Sudah lama sekali aku berpikir bahwa usiaku seperti tidak akan lama. Aku takut, tidak pantas sekali aku bertemu Tuhan dalam keadaan aku sedang menonton konser, bukan dalam keadaan aku bersujud untukNya seperti yang aku selalu harapkan.
"Tuhan, jangan sekarang." Itu yang aku batinkan, sambil terus beristighfar dan menghirup oksigen dalam-dalam. Tapi badan tetap tidak ada perubahan. Semua semakin terlihat tidak jelas dan aku melihat Faa membuka mulutnya tapi tak terdengar dia bicara apa. Aku hanya bisa bilang, "aku mau mundur."
Lagi-lagi aku takut. Takut jika aku membiarkan tubuhku jatuh dan kesadaran hilang, aku tidak akan pernah bangun lagi nantinya. Sekuat tenaga aku mengancam otakku untuk bisa berkompromi dan bekerja lebih keras memompa kesadaranku.

Aku linglung, lagi-lagi aku harus dibuat tidak paham sebelum akhirnya aku menyimpulkan, Tuhan hanya ingin menyapa. Tuhan hanya ingin mengingatkan agar aku harus kuat untuk segala hal yang sedang aku hadapi saat ini. Aku tidak boleh menyiksa tubuhku untuk hal yang Tuhan yakin aku bisa melewatinya dengan cukup baik. Satu lagi, Tuhan juga mengingatkan, aku masih punya banyak bantuan dari orang-rang tersayang. Teman-teman terdekat yang juga tidak pernah melepaskan pegangan tangannya.

Tuhan saja yakin, tapi aku begitu ragu. 
Ini ironisme yang belum bisa terjawab.
Sama seperti aku, yang semalam takut mati, tapi aku mau.


3 komentar:

  1. Hai.. aku mampir di sini, cerit2 dan tulisanmu bagus2. :) Touching.

    BalasHapus
  2. @anandita : hihihi makasih banyak mbak dita, sering-sering mampir ya :)

    BalasHapus
  3. Ada banyak cara sederhana untuk bersua dengan Tuhan. Duduk dan meresapi bagaimana jemari itu bisa kamu gerakkan mungkin salah satunya. Sayang manusia itu sok mahaasyik, mahaabai, dan mahaterlena kalau kenal sama modernisasi, duniawi, dan perihal asmara. Haha. Sempat hanyut juga baca postingan Aku takut mati tapi aku mau. :p

    BalasHapus

Rain Cloud