Beranda

Minggu, 21 Juli 2013

Say Hai, Hallo, again :))

Ahlan wasahlannnn ukhti akhi, umi abi, ayah bunda, jelekwan dan jelekwati semuanyahh? (--,)>

Apa kabar blog? sudah lama sekali ya kamu kutinggalkan, padahal novel yang kubeli dan (belum) kubaca semakin banyak saja. Apa mungkin aku sudah menduakanmu? Ahh.. kupikir tidak, bagaimana bisa aku menduakanmu dengan statusku yang lajang ini *terdengar suara clurit disabitkan* *darah mengucur deras* *dan ternyata cuma mimpi* *mimpi saja tahu aku melajang* wakakakaka.. oke hentikan!

Sebenernya aku berniat untuk kembali meresensi beberapa novel yang baru saja kubaca sih. Apalagi beberapa waktu lalu aku kembali membeli novel dengan judul hujan *mata berlinang berlian*. Tapi tapi tapi, apadaya, tingkat males sudah melebihi puncak monas, ada saja yang menghalangi buat mengetikkan email, menulis pasword aneh yang panjang itu, lalu meng-klik gambar pensil dan mulai menyelamimu :p

Makannya, semoga ini juga bisa ya jadi tips buat kalian semua yang baca dan mengalami hal yang sama (baca: serangan malas akut tanpa alasan). Aku berusaha untuk melakukan langkah pertama sampai akhir tadi, sampai pada kotak kosong yang harus aku tulisi. Nah, yang membedakan adalah apa yang aku tulis. Untuk menumbuhkan minat kita kembali, bisa dengan menyampah seperti ini. Ceritakan apa saja, apapun yang ingin kamu tulis, setidak penting apapun. Tulis terus menerus sampai kamu tidak merasa terbebani dengan keinginanmu untuk mem-posting tulisan di blog. Nah, setelah jadi tulisan gak penting mu, tunggu hasilnya besok pagi. Jika kamu masih merasa malas menulis, lebih baik kamu jadi tukang jagal sapi aja *rawrrr*

Nah, semoga tips tadi bisa cukup membantu ya. Kalau enggak membantu juga nggak papa, mungkin blog ini belum punya bakat jadi babu, wkwkwkwk :p

Supaya kelihatan agak berbobot, berbebet, dan berbibit, aku kepingin meninggalkan pembahasan simpel mengenai rasa bangga atas bangsa kita *wussssssshhhhhh*

Tadi sehabis sahur, demi menjaga berat badan agar tetap ideal, aku memutuskan untuk memilih TV daripada kasur *dan enggak memilih blog, sori banget ya blog, plis maafin aku*. Seharian tadi, berita di televisi isinya kebanyakan bersenandung tentang club liverpool yang akan berlaga lawan indonesia. Miris. Banyak orang Indonesia yang justru mendukung club manusia berhidung besar itu, dan dengan menggebu-gebu begitu hafal nama-nama pemain yang dilafalkannya saja sesusah mengeja huruf hijaiyah. Selain itu, mereka adu mulut tentang berapa skor yang pantas untuk liverpool mengalahkan indonesia, kebanyakan opinipun mengatakan dengan yakin diatas 5. Disatu sisi merasa malu aja punya masyarakat yang justru tidak membela tim bangsanya sendiri, di satu sisi lain, kasihan juga para anak-anak bangsa yang bersusah payah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Mereka dinodai dengan orang-orang sebangsa sendiri yang mungkin justru tidak punya semangat juang segedhe itu. Hufffhh... Pffttt *sok anak ababil* :D

Segini dulu deh sampahannya, aku enggak suka nonton bola, jadi nggak bisa komen banyak. Tapi setidaknya aku sadar masih punya rasa nasionalisme buat bangsaku dengan kemirisanku tadi. Walaupun sekedar kemirisan, semoga bisa membantu banyak. Kalaupun tidak membantu, mungkin aku memang enggak punya bakat jadi babu *recall* :))

Salam hangat untuk keluarga berencana Indonesia,
Aku pamit dulu ya,
Selamat berpuasa, selamat buka puasa, selamat sahur lagi, selamat lebaran #rapelan :p

Minggu, 07 Juli 2013

Flash Fiction : Yang Ke-2


YANG KEDUA

Lelaki berambut gondrong berjanggut tipis itu melipat-lipat kertas kusut ditangannya untuk kesekian kali. Resah. Tak menyangka. Justru surat itu datang dari orang yang telah merampas hatinya. Sekali lagi dibacanya kertas itu. Tapi justru bukan tulisan di dalamnya yang terbaca. Pikirannya di biarkan saja menerawang, mengawang kembali.
“Mas, kemarin aku bicara sama mbak Marni. Banyak.”
“....”
“Mas, banyak hal yang sebenarnya ndak bisa aku ceritakan ke Mbak Marni, tapi aku ndak tahu cara menyembunyikannya.”
“....”
“Mas, Mbak Marni menangis. Sambil pegang-pegang tanganku. Seperti memohon sesuatu, tapi ndak ngomong apa-apa.”
“....”
“Mas, aku juga perempuan, sama kayak Mbak Marni.”
“....”
“Mas, aku sudah tahu kalau Mbak Marni sudah tahu.”
“....”
“Mas, aku ndak bisa bohong, kalau aku tahu apa yang dirasakan Mbak Marni.”
“....”
“Mas, kenapa diam saja? Aku harus bagaimana?”
“Mas,...”
Lelaki gondrong itu melempar botol-botol hijau dengan gambar bintang di tengahnya sampai memantul mengenai dinding kamarnya. Bergelontangan. Tulisan di secarik kertas itu tak perlu lagi dibacanya, karena telah dihafalnya luar kepala dengan tidak sengaja.
Mas, mintalah maaf sama Mbak Marni. Aku mundur, sudah ndak bisa lagi aku disimpan jadi yang kedua.
Kembalilah.
Dan dipukulkan kembali sisa botol yang ada tepat ke kepalanya.

*****

This flash fiction i made for #proyekcinta-nya @bintangberkisah. Wish me luck :)

Senin, 03 Juni 2013

Resensi : Rumah Cokelat



Judul : Rumah Cokelat
Pengarang : Sitta Karina
Penerbit : Buah Hati
Cetakan : III, Maret 2012
Tebal : 226 halaman

“Jagain Ibu ya, Nak. Hormati perempuan. Kalau nanti Razsya sudah besar dan mau berbuat seenaknya ke perempuan, ingat Ibu. Menyakiti mereka sama dengan menyakiti Ibu.” (Wigra)

Selesai membaca novel ini, saya akhirnya benar-benar membuktikan bahwa testimonial yang dibeberkan diawal halaman tidak bohong. Novel ini keren sekaleeeeee! Padahal sejujurnya saya belum berumah tangga, tapi mbak Ari (Sitta Karina) benar-benar bisa membawa saya memposisikan diri “jika menjadi Hannah”.

Rumah Cokelat, sama seperti judulnya, menceritakan tentang warna-warni keluarga kecil dan seabkrek problematikanya. Mulai dari babysister pulang kampung dan akhirnya berhenti bekerja, pola asuh yang berbeda antara ibu mertua dan orang tua, buah hati yang tak hentinya protes mengapa kedua orang tuanya tak pernah menemaninya bermain, sampai pada titik dimana akhirnya menemukan fakta bahwa si Anak lugu mengungkapkan dia lebih menyayangi mbak pengasuh dibanding ibunya sendiri. Bukankah itu menohok semua ibu-ibu muda yang mengalaminya? Itu juga yang dialami Hannah Andhito, wanita muda dengan karir cemerlang, suami siaga dan pengertian, serta Raszya, satu jagoan yang begitu aktif.

“Kita nggak bisa kembali ke masa lalu, nggak bisa menghapus kesalahan yang pernah kita perbuat, juga nggak bisa mengulang kebahagiaan kecil yang dulu malah kita remehkan. Makannya aku sangat, sangat mensyukuri apa yang kupunya sekarang, kalau ada kesulitan sedikit, coba dijalani dengan ikhlas saja. Kalau ada kebahagiaan walau kecil, sebisa mungkin dinikmati. Intinya menjalani hidup dengan sadar, tapi tidak terbebani.” (halaman 124)

Permasalahan dalam keluarga baru nan kecil, dan (semestinya) menyenangkan tak berhenti hanya pada persoalan internal saja. Permasalahan dari luar semacam godaan orang ketiga juga tak bisa dipungkiri. Dan beruntungnya Hannah karena mempunyai suami seperti Wigra, yang tahan godaan para wanita rekan kerja dan mantannya, serta betapa hero-nya karena telah membela sang istri dari godaan Banyu, teman dari sahabat Hannah yang begitu ingin memiliki Hannah.
Ini cuplikan dialog Wigra dengan Razsya di playground malam hari yang sukses membuat mata saya berkaca-kaca :
“Raz...”
“Ya, Ayah.”
“Jagain Ibu ya, Nak. Hormati perempuan. Kalau nanti Razsya sudah besar dan mau berbuat seenaknya ke perempuan, ingat Ibu. Menyakiti mereka sama dengan menyakiti Ibu.” (halaman 171)

Banyaknya hal-hal yang sejauh ini mengganggu pikirannya, akhirnya Hannah sampai pada dilema untuk mengambil keputusan tersulit dalam hidupnya, antara melepas pekerjaannya di masa-masa karirnya sedang menanjak demi putranya, atau tetap bertahan menjadi wanita karir tetap keluarga terbengkelai, dan Razsya sama sekali jauh dari perhatian dan didikannya.
Masalah itu pilihannya cuma dua, mau diselesaikan atau tidak. Untuk dapan menyelesaikannya, kita butuh niat untuk benar-benar menyelesaikan---serta komunikasi. (halaman 198)

“Mana yang benar, mana yang seharusnya dilakukan, seringkali itu bukan hal yang menguntungkan.” (halaman 209)

Namun Begitulah Tuhan menakdirkan, masalah tak seterusnya menyertai asal kita tau apa yang harus kita pilih dan kita jalani. Setelah memasuki masa-masa sulit adaptasi menjadi ibu rumah tangga, bertentangan dengan pola asuh ibunya, dan harus kehilangan Upik, babysister Razsya yang cukup membantu kerepotannya selama ini, akhirnya Wigra membawa kabar baik bahwa ia dipindah tugaskan ke Washington. Ini bagi Wigra—dan Hannah, adalah awal hidup yang baru bagi mereka, untuk menentukan warna keluarga mereka sendiri, mandiri.

“Menurut Wigra, uang dicari bukan hanya untuk seluruhnya ditabung, atau seluruhnya dihambur-hamburkan. Mengapresiasi diri—dan keluarga—kita dengan hasil kerja keras juga merupakan hal penting. Just like he once quoted, life is also about dancing in the rain.” (halaman 214)

Yahh, sumpah novel ini salah satu cermin dimana seorang ayah dan suami harus menjunjung tinggi wanita dan menghargai peranannya, baik sebagai wanita karir ataupun ibu rumah tangga. Dan kesimpulannya, menjadi ibu rumah tangga di masa sekarang bukanlah pilihan yang buruk :)

Terus terus terus dan terus giatkan membaca ya cwinttts,
saya juga terus terus terus dan berdoa nih biar besok suami saya se-cool Wigra, aha!

Sabtu, 18 Mei 2013

Rindu part #sekian


Akhirnya tiba juga,
Malam ketika diguyur hujan,
Karena hanya hujan yang bisa membunuh rindu,
Rindu yang tak pernah bisa terucap,
Meski dengan terbata...




Teruntuk : Hujan Rintik


Teruntuk : Hujan Rintik

Bilamanakah tangisan berubah menjadi kata?
Air mata dapat menyampaikan nyata?
Jangan biarkan otak terenovasi dengan dengki,
Jangan biarkan syaraf bicara mati,
Dan aku melupakan diri,
Untuk bahagia di atas bahagiamu.

Biar air bah bawakan jasadku,
yang terpuruk ingin bersuka denganmu.
Tunggu saja nanti.
Jika Tuhan memberkati.

Terkasihmu,
(iringan) ke-ikhlas-an

Senin, 13 Mei 2013

Wanita.



Perkenalkan,
Saya tidak ada dalam komik manapun.
Apapun, siapapun, bagaimanapun yang terekam menjadi sebuah film,
Nama saya tetap sama,
Nama saya,
w a n i t a.

Takdir Senin


Selamat pagi.
Hai Senin.
Terimakasih sudah membangunkanku dengan harapan.
Mulai sekarang tidak ada yang boleh merusakmu lagi. Seterusnya, cukup abaikan.

Kamu percaya, kamu ada karena takdir?
Kamu selalu menjadi pengawal minggu,
dam pembunuh bahagia si empunya hari minggu,
bukankah itu takdir?
Haha, aku ingin tertawa.
Pagi ini semua terasa beda.
Lucu sekali,
yang tidak diharapkan datang duluan,
yang berharap sekali, justru tak kunjung datang.

Tuhan padahal aku yakin sekali tak mempermainkan.
Begitulah,
sekali lagi ini namanya takdir,
jika Tuhan belum berkenan,
ya belum hadir.

05:37
diatas kasur usai sahur

Rain Cloud