Beranda

Rabu, 02 Februari 2011

[Episode 2]

Gontai. Hari ini Ara enggan kemana-mana. Langsung kembali menaiki bus dengan jalur yang sama seperti tadi, kembali. Merencanakan ulang apa yang harus dilakukan di sisa jam nanti, agar tak terasa perut yang lapar, agar tak terdengar cacing yang berdendang. Hmm... tidur seharian sampai maghrib? atau membaca beberapa novelnya untuk kelima kali? atau... apa lagi?
Hhhh..
Hembusan nafas itu kembali, masih ditempat duduk yang sama. Ibu, sampaikan pada Tuhan, aku membutuhkanmu, Ibu...
Lagi-lagi disambut dengan jalan becek, gang sempit, dan gerombolan anak-anak berseragam merah putih yang lesu sepulang sekolah. Kesibukan warga sekitar yang memang sengaja dipekerjakan oleh juragan angkringan mulai terlihat. Membuat adonan gorengan, memotong daun pisang untuk bungkus nasi, diselingi dengan celoteh dan berita terbaru dari sebuah infotainment di televisi yang sengaja di putar keras-keras agar semua yang bekerja bisa mendengar.


Ara mengenal beberapa warga disitu, walau tak sebaik dan sedekat Ibu. Beberapa diantaranya melempar senyumnya, dan dibalas oleh Ara dengan anggukan kecil.
"Mbak Ara, mampir mbak?" Sapa Bu Darman, perempuan beranak dua yang katanya dulu teman main Ibu.
"Nggih Bu." Ara mendekat enggan. Setidaknya menghormati. Bu Darman sedang membuat pincuk nasi kucing seribuan ketika Ara datang. Dicium tangan wanita itu, lalu mengambil posisi tepat di sebelahnya.
"Darimana nok?"
"Kampus, Bu." ucapnya sambil mulai membantu membuat bungkusan yang sama. Masih enggan, tapi nggak enak.
"Dek Nanik kemana kok nggak keliatan?" tanya Ara membuka pembicaraan (lagi). Seperti biasanya, hanya dipancing sekali dua kali, Bu Darman pasti langsung akan bercerita panjang lebar, memudahkan Ara yang memang tidak suka banyak bicara, untuk menjadi pendengar yang baik.
"Tadi pamitnya mau cari kerja, nok. Yahh... cari kerja jaman sekarang kok ya susah banget yo, apalagi Nanik cuman punya ijazah SMK. Pengen rasanya biar Nanik punya ijazah sarjana, kayak kamu, nok."
"Saya juga belum punya, Bu." jawab Ara sambil tertawa kecil.
Lengkap,sisa hari itu Ara menghabiskan waktunya mendengarkan cerita Bu Darman. Tentang anak-anaknya, tentang kehidupannya, tapi yang paling di ingat Ara adalah tentang bagaimana rejeki itu datang. Ibu ternyata benar-benar menyampaikannya pada Tuhan. Memang bukan lewat kotak ATM itu, tapi melalui tangan Bu Darman. Menjelang maghrib Ara pulang ke rumah dengan menenteng dua bungkus nasi dan dua potong tempe goreng. Tanpa bayar. Bahkan Ara diminta sering-sering mampir, dan datang jika memang ingin. Setidaknya, sebungkus indomie itu tidak perlu terpakai hari ini.
Senja, memang selalu berakhir dengan cerah, semendung apapun hati seseorang, senja memang tidak ingkar. Dengan lahap Ara menghabiskan bungkusan itu. Berusaha untuk mendapatkan kenyang, agar nanti dia dapat mengajar anak-anak di surau seberang sungai dengan semangat, dan mengakhiri malamnya tanpa sakit perut.
Ara tersenyum simpul. Membayangkan betapa hari ini tidak sesulit yang di perkirakannya.

1 komentar:

Rain Cloud