Beranda

Minggu, 30 Januari 2011

Mata Malaikat Dari Bapak

 [dedicated for Bantul earthquacke victims]

AllahuAkbar... AllahuAkbar!”
Teriakan para tetangga semakin terdengar keras seiring bunyi suara puluhan telapak sandal yang berlarian ke arah utara. Semua warga mencoba untuk keluar rumah dan menyelamatkan diri masing-masing. Untung-untung masih ada yang sempat mengingat anggota keluarganya yang tertinggal.
“Bapak...” lirih suara itu terdengar dari dalam rumah semi modern yang sudah tidak berbentuk karena halaman depannya dipenuhi reruntuhan.
“Simbok...” sekali lagi suara itu terdengar pelan. Merintih. Sia-sia. Di depan matanya nyaris tak terlihat lagi cahaya selain tumpukan bebatuan. Yang dipanggil tak satupun yang menyahut. Untuk kedua kalinya tubuh mungilnya tergoncang karena getaran bercampur dengan tangisan. Bocah duabelas tahun itu sangat ketakutan.

“Mbokee... Didittt... Titaa...” teriakan laki-laki itu terdengar entah darimana. Disela nadanya terbesrsit rasa khawatir yang amat sangat. Beberapa menit kemudian terdengar isak yang tertahan masih dari suara yang sama.
“Taa... Titaa... kowe ning endi, Nduk1?” teriaknya lagi sambil terus berjalan masuk dan mencoba mengangkat beberapa perkakas yang ambruk. Bocah kecil yang merasa dipanggil namanya itu merasa senang karena ada yang mencarinya. Cepat-cepat dia menghapus air matanya dan berusaha berteriak.
“Bapak....” suaranya parau, tapi terus diulang-ulangnya, tak peduli sakit yang semakin terasa karena sebongkah batu berdiam diri diatas punggungnya dan menghambat kepalanya untuk bergerak lebih leluasa.
MasyaAllahh... Alhamdulillah... bentar Nduk, Bapak angkat dulu batunya.” Teriak laki-laki berumur itu bersyukur. Setidaknya dia tidak akan benar-benar sendiri. Setelah berhasil memindahkan batu yang menimpa anaknya, Pak To langsung mengangkat perempuan mungil itu dan membersihkan rambut serta bajunya. Melihat dan mencari kalau saja anak manisnya terluka. Tita hanya bisa menangis di bahu bapaknya.
“Tsunamii... Tsunamii... Tsunami...” dari luar teriakan warga kembali menggema, semua kembali berlari sambil berteriak-teriak menyebut nama Tuhannya. Suara tiang listrik di pukul-pukul keras.
“Ayo Nduk, kita pergi.” Refleks Pak To menggendong anaknya dan berlari keluar mengikuti arus manusia. Tita menghentikan tangisnya. Sewaktu keluar dari rumah yang kemarin masih ada pintunya, mata bulat Tita menangkap tubuh abangnya tertidur di antara reruntuhan. Tita kesal kenapa Bapak tidak membangunkan Bang Didit dan mengajaknya pergi. Tapi pertanyaannya dia urungkan. Nanti saja, batinnya. Ketika Tita dan Pak To berlari melewati pohon randu depan rumahnya, lagi-lagi matanya melihat Simbok duduk bersandar di pohon itu dan tertidur. Tita semakin kesal karena Bapak begitu saja melewatinya.
“Pak, itu simbok Pak. Kok ndak diajak?” Pak To menghiraukan pertanyaan anaknya. Tapi buliran air mata tak mampu dicegah untuk keluar dari pelupuknya. Maafin Bapak, Mbok!
Jalan raya mulai padat, penuh dengan orang-orang yang hampir tidak ada yang tahu harus kemana. Yang dari utara mengatakan harus ke selatan karena katanya guncangan tadi berasa dari gunung berapi yang akan meletus. Sedangkan yang berlari dari selatan mengatakan harus ke utara karena air laut akan meluap sebentar lagi. Sedangkan polisi yang mengatur lalu lintas hanya mempersilahkan orang-orang berlari-lari dengan tertib. Kemacetan tak terelakkan lagi. Kendaraan tumpah ruah, semua serba apa adanya. Tak ada ibu-ibu dengan make-up, hanya bapak-bapak dengan sarung sisa ronda, dan ibu-ibu dengan daster untuk masak. Hanya anak-anak yang terlihat rapi dengan seragam sekolah mereka.
AllahuAkbar... Gusti Allah nyuwun ngapura2!” teriak orang-orang dijalan. Tita mengencangkan pegangan tangannya ke bahu Pak To. Jantung Bapaknya yang berdegup kencang dirasakannya. Tita tahu akan ada yang terjadi setelah ini.
05.55 WIB.
|||||||

“BAPAK!” suara Tita menggema sampai telinga Pak To yang sedang membuat mie rebus untuk sarapan. Pak To langsung menghampiri bocah kecilnya yang sudah duduk di tepi ranjang sambil mengerjap-kerjapkan matanya ketika ia sampai.
“Mimpi buruk lagi, Nduk?” tanya Pak To sambil mengelus pundak Tita. Yang ditanya hanya mengangguk pelan.
“Sudah pagi, Pakke? Ta janji hari ini mau jenguk Simbok. Mau pergi agak pagian biar ndak panas.” Kata Tita sambil beranjak berdiri dan meraba-raba udara di depannya mencari teman setianya selama bertahun-tahun.
“Bapak udah siapin sarapan buat kamu, nanti di makan dulu ya, Nduk. Bapak tinggal ke sawah dulu. Nanti kamu juga ati-ati, jangan sore-sore pulangnya.” Pesan Pak To yang hampir selalu sama setiap hari. Tita mengiyakan dan langsung berlalu.
Sepanjang perjalanan Pak To menerawang jauh. Mukanya yang sudah setengah abad terlihat semakin keriput karena dahinya mengkerut. Cangkul yang terpanggul di pundaknya semakin menambah kerentaan tubuhnya. Mimpi-mimpi Tita yang suda hampir tujuh tahun selalu menghantui, tidak hanya membuat batin Tita tertekan, tapi menjadi beban pula untuknya. Tepat di pagi 26 Mei itu, gempa hebat yang berkekuatan 5,9 SR mengguncang tanah Imogiri. Dari jauh, entah darimana, terdengar suara Glung! dari bawah tanah. Sepersekian detik dari itu, tanah bagai diliuk-liukkan oleh kuasa Tuhan. Hampir seluruh kawasan itu bergoncang, menyebabkan rumah-rumah dan semua bangunan yang tadinya berdiri megah diatasnya runtuh tak bersisa. Beberapa diantaranya lantai-lantai retak dan amblas. Mobil-mobil dipinggir jalan harus rela menjadi objek tontonan karena peyok tertimpa dengan sukses. Wilayah Imogiri seketika menjadi wilayah penuh tangisan, dengan dihiasi remukan bebatuan dalam gelap. Sungguh pemandangan miris yang tidak indah. Bantuanpun tidak bergegas datang. Keadaan yang sama sekali tidak terbayangkan itu bagaikan momok tak diundang yang menyisakan trauma bagi sebagian orang, termasuk Tita. Pak To sudah berangkat ke sawah saat gempa itu terjadi. Peristiwa itu langsung merenggut kedua orang terkasihnya sekaligus. Bisa juga dikatakan tiga. Itu yang membuat Pak To semakin terpukul. Tita seperti hanya tinggal raga, tidak ada jiwanya. Tidak ada lagi senyum dan cerianya. Bahkan sisa keberadaannya pun tidak dapat mengembalikan kondisi Tita dalam keadaan semula. Memang, bocah kecilnya itu semestinya tumbuh menjadi remaja yang cantik, bukan yang seperti ini, terenggut kebahagiaannya terlalu dini.
|||||||

Tita mengambil sebungkus plastik berisi dua pincuk daun yang kemarin dia beli di pasar. Tiga hari sekali Tita memang mempunyai jadwal tetap untuk mengunjungi makam Simbok dan abangnya di daerah Kebon, bagian Imogiri Utara. Butuh 20 menit perjalanan untuk sampai sana jika dilalui dengan berjalan. Jalan yang sama sudah dia hafal betul sehingga ia tidak perlu bersusah payah untuk terus meraba-raba dengan tongkatnya.
Assalamualaikum ya ahli kubur, Simbok, Mas Didit... maaf ya, Ta agak telat.” Dengan segera Tita menaburkan bunga-bunga yang tadi dibawanya diatas pusara di samping kiri dan kanannya. Setelah itu, dia mencium nisan secara bergantian, dan duduk diantaranya.
“Hari ini Bapak masak mie rebus lagi, Mbok. Coba kalau dulu Ta sering bantuin Simbok masak, pasti Bapak lebih terjamin gizinya. Untung ada budhe Retno yang sering ngirim makanan. Eh, tapi emang orang buta bisa masak ya, Mbok?” gumam Tita mulai berkaca-kaca. Kembali dia lihat kedua nisan di depannya. Simbok, yang saat itu ditemukan Bapak di depan halaman, lalu diikat di batang pohon ketika orang-orang semua pada ribut kalau-kalau tsunami seperti di Aceh menerjang. Mas Didit, yang langsung tidak bernyawa justru ketika dia berniat akan menyelamatkan diri. Palang pintu itu menimpa tanpa ampun dan membawa pergi seluruh nyawa abangnya. Semua masih terekam begitu jelas di ingatannya. Bongkahan batu yang menimpa punggungnya, yang menimbulkan luka memar berhari-hari. Teriakan histeris para tetangganya, orang-orang bergelimpangan di sepanjang jalan, semua masih begitu nyata dalam benaknya. 6.234 korban tewas yang tercatat. Televisi juga tak henti-hentinya menyiarkan berita pasca gempa yang membuatnya semakin pahit dan ingin muntah. Semua masih belum berhenti sampai disitu. Pandangannya dari hari ke hari, bulan ke bulan, semakin lama semakin kabur. Bapak segera membawanya ke Puskesmas.
“Kata dokter, kamu perlu istirahat, Nduk.” Nasehat bapak waktu itu.
Sehari kemudian, Bapak membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Lagi-lagi Bapak tidak mengatakan apa-apa. Tapi ia tahu, Bapak menyembunyikan sesuatu. Dia mendengar dengan jelas yang dikatakan dokter rumah sakit itu. Batu itu penyebab malapetakanya. Reruntuhan itu mengenai syaraf penglihatannya, dan perlahan akan berdampak pada kebutaan. Gusti...salah apalagi hamba? Aku tidak sanggup berjalan tanpa melihat...
“Kenapa Gusti Allah ndak adil sama Tita, Mbok? Kenapa harus Ta yang kehilangan semuanya?” cercanya sambil menangkupkan tangan ke mukanya menahan tangis yang mulai tak terbendung.
“Tita kangen Simbok sama Mas Didit. Tita mau ketemu...”
“Kenapa Tuhan cuma ambil kedua mata Ta? Kenapa ndak sekalian Ta mati bareng Simbok, biar bisa nemenin Simbok disana? Kenapaa!” isaknya sambil memukul-mukul gundukan tanah di sebelahnya.
“Karena Gusti Allah sayang sama kamu, Nduk.” Suara berat itu muncul dari belakang. Tita menoleh mencari asal suara yang dia kenal.
“Ndak...Gusti Allah ndak sayang sama kita, Pakke.”
“Kalau Gusti Allah ndak sayang, sampai sekarang kita masih terus tidur di tenda to? Gusti Allah itu baik, Nduk. Ndak biarin Bapak hidup sendirian, ndak biarin bapak nyesel seumur hidup cuma gara-gara ndak bisa nyelamatin kalian. Yang paling penting, masih ngebolehin Bapak njagain kamu” ucap Pak To, ikhlas. Direngkuhnya anak satu-satunya itu. dibiarkannya dia menangis sesenggukan.
“Ta masih belum sanggup berjalan tanpa melihat.”
“Kamu bisa, Nduk. Buktinya, kamu sudah bisa berjalan sejauh ini, ketemu Simbok. Kamu hanya belum bersyukur. Inget Nduk, hidup itu sekarang, bukan kemarin atau besok, jadi yang ada sekarang tinggal dijalani. Yakin apa kata Bapak, Simbok sama masmu, pasti bahagia liat kamu kuat disini.” Ucap Pa To tegar, sambil menuntun anaknya untuk pulang. Sebentar lagi, Nduk. Sebentar lagi, kamu bisa percaya kalau Gusti Allah baik.
Rintik hujan mulai turun, seiring semakin menjauhnya mereka dari pusara keluarganya.
|||||||

“Cah ayu, ini Budhe bikinin soto. Dimaem yo3.” Panggil Dhe Retno dari luar. Ta yang sedang mendengarkan siaran radio dari dalam kamar beranjak keluar.
“Iya Dhe, matur nuwun4 ya. Kapan-kapan ajarin saya masak saja ya Dhe, biar ndak perlu ngrepotin Budhe lagi.”
“Haduh, sudah. Kamu ndak perlu mikir gitu, Budhe ndak repot kok. Eh, kata Bapakmu, ada orang yang tertarik jadi donor mata buat kamu. Kalau beneran, kamu mau ndak?” tanya Budhe sambil mengambilkan nasi untuk Tita. Tita terlihat berbinar-binar sesaat, setelah itu wajahnya kembali datar.
“Ahh...udah terlalu lama Budhe saya begini. Saya ndak mau terlalu berharap dulu, daripada nanti ndak jadi, malah saya yang kecewa.”
“Tapi yang ini kayaknya udah rembugan5 sama Bapakmu.”
“Ndak tahulah Budhe. Saya lagi belajar ikhlas sekarang. Terserah Bapak saja baiknya gimana.” Tita berjalan ke meja makan, dan duduk tanpa berkata apa-apa lagi.
|||||||

RS. Panti Rapih, Ruang Elizabeth.
Sudah menjelang senja ketika Tita selesai melakukan full check-up. Mulai dari tekanan darah sampai kadar gula semua diperiksa dengan detail. Tita juga harus rawat inap pra-operasi selama sehari. Dokter menyatakan hasil tes cangkok mata positif cocok dengan donor matanya. Pak To dengan setia menemani Tita selama pemeriksaan.
“Pak, orang yang donorin mata buat Ta pasti orangnya baik banget ya, Pak?” tanya Tita penasaran. Dari kemarin baik Pak To ataupun Budhe Retno, semua tutup mulut soal identitas pendonor yang budiman itu.
“Sebaik-baiknya orang, dia tetep manusia biasa kok, Nduk. Sudah, kamu istirahat dulu. Besok pagi kamu sudah harus masuk ruang operasi to?” kata Pak To lembut sambil membelai rambut Tita. Tita tidak dapat menyembunyikan mukanya yang berseri-seri. Tak pernah terbayangkan olehnya akan dapat terbebas dari kegelapan. Penantiannya selama ini usai sudah.
“Iya. Bapak jangan tinggalin Ta, ya.” Pesan Tita.
“Ndak, Bapak ndak kemana-mana, Nduk. Besok pagi mungkin Budhe Retno gantiin Bapak sebentar. Bapak kan mesti ke sawah.”
“Jangan lama-lama ya, Pak. Ta ndak mau sendirian waktu operasi.”
“Iyo6. Bapak selalu di dekat kamu, Nduk. Yowis7, sekarang tidur saja.” Maafin Bapak, Nduk. Bapak sayang sama kamu...
|||||||

Operasi Tita berjalan lancar. Dhe Retno yang sedari tadi terlihat tegang mulai dapat bernafas lega. Hanya saja kekhawatiran kembali ketika dokter menyatakan keadaan pendonor sedang kritis karena terjadi pendarahan tak terduga. Dia tahu ini resiko terbesar yang akan dihadapi mengingat usia pendonor yang tidak lagi muda. Mulutnya tak berhenti komat kamit berdoa memohon agar semua akan baik-baik saja. Sedangkan Tita masih belum sadarkan diri dari pengaruh obat bius.
Dua jam kemudian.
Dokter sedang bersiap untuk membuka perban penutup di mata Tita ketika berita lain disampaikan oleh perawat yang datang tergesa-gesa menghampiri Dhe Retno. Gusti, kuatkan anak itu...
Bismillah dulu cah ayu...” kata Budhe ketika Tita merasa gugup. Perasaan takut dan senang bercampur aduk dalam dadanya.
“Bapak belum kesini, Dhe? Katanya Bapak janji mau nemenin saya operasi.”
“Iyo, tadi bapakmu nemenin kamu kok, persis di sebelah kamu. Sekarang dia nungguin kamu di rumah. Makane gek sehat, Nduk8.” Ucap Budhe Retno terbata-bata. Bulir air matanya menetes tertahan.
“Budhe kok nangis?” mimik muka Tita berubah.
“Ndak, Budhe nangis seneng, akhirnya kamu bisa liat Budhe lagi nanti.” Tita tersenyum bahagia.
“Nanti Budhe bisa ajarin saya masak. Oiya Dhe, saya kepingin bilang terimakasih sama yang udah rela ngasih matanya. Orangnya dimana, Dhe?” Budhe Retno terisak, membuat Tita kembali bertanya-tanya.
“Orangnya sudah ndak ada, Nduk.”
“Maksudnya?” tanya Tita sambil meraba-raba matanya.
“Iya, orangnya sudah kembali sama Gusti Allah. InsyaAllah sudah tenang disana. Dia kemarin bilang, sudah mengikhlaskan matanya buat kamu. Dia sudah terlalu lama bisa melihat kehidupan yang sebenarnya, sekarang giliran kamu menggantikannya.”
“Nanti kalau saya sudah sembuh, antar saya kerumahnya ya, Dhe. Bagaimanapun dia begitu berjasa buat saya.” Ucap Tita datar. Hatinya galau, tapi segera ditepisnya.
|||||||

Sehari pasca operasi, Tita langsung diperbolehkan pulang. Dia tidak sabar untuk segera bertemu Pak To. Tidak sabar untuk segera memeluknya. Tidak sabar untuk melihat sinar bahagia terpancar di mata Bapaknya. Tidak sabar untuk segera mengucapkan rasa terimakasihnya yang sungguh tak terkira banyaknya. Hatinya membuncah.
Sampai di belokan menuju rumahnya, Tita merasa heran karena karena banyak motor terparkir di halaman. Orang-orang berduyun-duyun memenuhi teras depan rumahnya. Lantunan ayat-ayat Al-Qur-an terdengar cukup jelas.
“Budhe, Bapak bikin acara syukuran kok ndak bilang-bilang dulu?” tanya Tita sambil setengah berlari ingin cepat sampai. Budhe Retno menyembunyikan wajah sendunya dibalik selempang selendangnya. Pertanyaan tadi hanya dijawabnya dengan gelengan.
“Bapak, Tita pulang, Pak...” Gumamnya lirih tepat didepan pintu rumahnya.
|||||||

Gundukan tanah itu ada tiga. Yang satu masih tercium bau tanah basah dan wangi bunga. Seperti ritual yang biasanya ia lakukan setiap berkunjung, Tita mulai menaburkan bunga-bunga yang tadi dibawanya diatas pusara. Setelah itu, dia mencium nisan secara bergantian, dan duduk diantaranya.
“Bapak, sekarang Ta tahu, Gusti Allah memang baik, sangat baik, karena sudah sempat mengirimkan malaikat bermata jeli dan berhati tulus seperti Bapak.” Tita berkata pelan dan berusaha untuk tidak menangis.
“Semoga Bapak seneng liat Ta kuat disini. Tidur yang nyenyak disana ya, Pak.”
Angin berhembus pelan, membawa langkah Tita untuk beranjak pergi. Kali ini hanya sendiri.
Gusti... semoga kami dipertemukan kembali. Nanti.
|||||||

Keterangan :
1Kamu dimana, Nak (panggilan untuk anak perempuan)
2Ya Allah mohon ampunanmu
3Anak cantik, ini budhe buatkan soto, dimakan ya 
4 Terimakasih
5Berdiskusi
6Iya
7Yasudah
8Makannya cepat sehat, Nak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rain Cloud