Beranda

Jumat, 28 Januari 2011

[Episode 1] Ini tentang Cemara!

Aku hanya ingin mencintaimu.
selalu. dengan sederhana.
tak bersyarat.
tak berderajat.

Bait puisi itu tak henti-henti bergaung dalam pikiran Cemara. Ribuan kali kertas lusuh yang tersimpan rapi dalam buku harian terakhirnya itu dibacanya. Bahkan Ara tak perlu lagi membacanya teliti, karena setiap kata disetiap spasi itu telah dihafalnya. Fasih. Diluar kepala. Satu-satunya puisi yang paling dia gemari, selama hidup mungkin. Tak pernah ada dalam kamusnya untuk berubah menjadi seorang pribadi romantis, yang mengumbar kata-kata "menye-menye", yang berusaha terharu dengan sajak-sajak tiap kalimat yang biasanya justru memunculkan banyak persepsi. Satu orang, satu persepsi. Buatnya itu sulit dimengerti. Ara lebih suka tanpa basa-basi. Apapun, lebih baik langsung menuju pada masalah inti. Tapi selembar puisi itu lain. Puisi itu bisa disebut istimewa, walaupun untuk mengetahui seberapa besar keistimewaannya harus diawali dengan kata t-e-r-l-a-m-b-a-t.



Yahh... cerita ini seharusnya sederhana. tak berbelit. Tak jauh dari soal cinta. Tapi sayang sekali harus diawali bukan dengan kisah bahagia. Sama sekali tak mengharapkan kalian untuk langsung berubah pikiran untuk meninggalkan, dengan permulaan ini. Ikutilah sejenak, rasakan betapa permulaan ini menyedihkan.Tak jauh pula dari soal cinta, tak jauh dari kata patah hati. Mengapa patah hati selalu identik dengan sakit hati? Mengapa setiap patah hati harus selalu ada air mata dan kecewa? Mengapa setelah patah hati harus muncul rasa kehilangan? padahal bukankah kehilangan itu menyakitkan? Mungkin benar jika dikatakan bahwa patah hati adalah resiko terbesar yang akan didapat, -cepat atau lambat,- bagi makhluk-makhluk Tuhan yang terbuai dengan perasaan jatuh cinta. Siap mencintai, siap jatuh suatu hari. Tapi adilkah jika patah hati itu datang ketika kita belum, atau tidak diawali dengan jatuh cinta? Beritahu aku, jika ada yang lebih menyakitkan dari itu. Beritahu aku.
Sayang sekali, Tuhan tetap menetapkan bahwa itu adil. Adil jika dipahami.
Sayang sekali, Ara belum bisa memahami, bahwa itu adil. Yang dia tahu, rasa itu begitu menghujam. Dalam.

|||||.c.u.t.e.|||||
Cemara, 9 tahun silam.

Pagi itu tak seperti biasanya. Cerah. membangkitkan semangat siapapun juga yang menyambutnya. Anak-anak berebut mendahului menuju sekolah. Remaja tanggung dan para anak kos berebut kamar mandi ingin segera beraktifitas. Melihatnya sungguh menyenangkan. Suasana dalam gang sempit milik juragan angkringan itu riang. Tukang sayur sibuk bergosip ria dengan ibu-ibu tetangga. Semua seakan enggan berdiam diri. Langit itu tetap cerah hingga senja merenggut paksa. Mengakhiri hari dengan keindahan sunset yang luar biasa.
Sama seperti Ara, gadis itu berniat untuk keluar rumah tepat pukul 8 pagi. Teng. Hari ini adalah batas akhir pengumpulan formulir pendaftaran beasiswa. Bismillah. Oh Ibu, semoga keberuntungan datang hari ini. Batinnya. Selepas merapikan pakaiannya, Ara keluar rumah dengan amplop coklat di tangan. Sama seperti yang lain, senyumnya merekah. Melangkah menyusuri jalan sempit penuh genangan air, becek, sisa hujan semalam. Memulai hari dengan pengharapan terbaik. Bus kota tiba sesuai dengan yang dia perkirakan. Membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai di kampus tempatnya menuntut ilmu. Semoga semua terus sesuai perkiraannya. Amplop coklat dipangkuannya harus sampai di meja pengumpulan paling lambat pukul 10 pagi ini. Teng.
Hhhhhh...
Hembusan nafas berat itu akhirnya keluar dari mulut Ara. menyisakan embun tipis pada jendela bus yang terasa pengap. Bayang-bayang negatif bergelayut terus di pikirannya, walau telah sejak tadi Ara berusaha menepis dan membuangnya jauh-jauh. Ketakutan itu begitu berlebihan. Kegagalan itu seakan di depan mata. Sama seperti tahun sebelumnya. Setelah mengurus ini itu. Setelah bertanya kesana kemari. Setelah banyak yang telah diharapkan dan diusahakan. Semua menemui kata gagal. Ara jera. Harapan terbaiknya hari ini cukup satu saja. Tuhan berbaik hati padanya.
Sejauh ini semua masih baik-baik saja. Ara berjalan menuju ruangan, bersiap untuk mengumpulkan. Pukul 9.15. Belum terlambat. Sejauh ini Tuhan berbaik hati. Setidaknya bayangan kegagalan itu sedikit sirna. Ara tersenyum simpul. Setidaknya Tuhan kali ini memberinya kesempatan, untuk tidak gagal.
Selepas dari kampus, Ara berjalan menuju kotak ATM dekat kantin. Berharap-harap cemas. Kembali, ketakutan yang berlebihan itu kembali. Hari ini semestinya kiriman itu datang. Sudah 2 minggu terlambat. Ini beranjak minggu ketiga. seharusnya pagi ini nominal di layar sudah bertambah, walaupun jumlahnya tidak seberapa. Ahh.. tapi jumlah itu tidak penting, yang penting masih ada jatah untuk sekedar mengisi perut hari ini. Sayangnya, Tuhan memang hanya berbaik hati sekali untuk Ara. Nominal itu tak berubah. Tetap pada jumlahnya yang tidak bisa diambil lagi. Ara keluar dan terduduk di kursi depan. Lemas. Perkiraannya di jam 10 pagi ini meleset. Kenapa hanya bagian ini, Tuhan? Tepat pukul 10.10 (masih sesuai perkiraannya), telepon genggam butut itu berdering.
Bapak.
"Uhk.Uhk...Nduk, Bapak belum bisa. Belum ada uangnya. Tunggu yang sabar ya." Ara terdiam. tidak menyahut. Hanya berkata iya dan mengingatkan untuk mengurangi merokok ketika orang diseberang sana mengakhiri pembicaraan.
Ahhh...Indomie di lemari tinggal sebiji. Harus cukup untuk hari ini.
Ara beranjak. Ini sempurna merenggut pagi cerahnya, tanpa harus menunggu senja yang merenggut paksa.

2 komentar:

Rain Cloud