Masih di musim penghujan. Belum lewat. Jalan masuk gang
seperti biasa banjir. Rutinitasnya juga masih sama, pengendara motor yang lalu
lalang bermantel, anak-anak pulang sekolah kesorean-kehujanan, dan tetangga
berlarian dengan ember mengejar cuciannya yang hanyut terseret air. Oh, ada
tambahan, kali ini anak kos depan sedang sibuk mengabadikan banjir dengan
kamera ponselnya, entah untuk apa. Aku memandang semua dari balik jendela.
Cokelat panas, hujan, payung teduh, dan melamun. Perpaduan pas untuk sore hari
yang basah. Bisa kau kaitkan sendiri keempat kata itu? Iya. Hangat :)
Kisah pertama
Waktu itu aku sedang duduk di gazebo atas tebing sebuah
pantai. Niatnya menanti matahari terbenam. Angin sepoi, dan seperti biasa, aku
hanya menghabiskan waktu untuk berdiam. Hei, berdiam termasuk kata kerja kan?
Hahaha. Di depanku berdiri dua orang, laki dan perempuan. Keduanya menghadap
kearah awan, membelakangiku. Mereka berbincang hal yang sama dengan apa yang
kubincangkan dengan hatiku. Kecewa, karena matahari ditutup mendung, padahal
tadi cerah. Ternyata matahari pun bisa dusta. Bedanya, kecewaku terobati dengan
melihat mereka. Seru sekali. Perbincangan yang awalnya membuatku ragu menerka
status mereka.
“Eh, liat deh, biru banget airnya.” Teriak lelaki itu sambil
menunjuk ke bawah.
“Iya, masih jernih ya. Ah, tapi pasti nggak lama, dua tahun
lagi, udah banyak sampah.” balas wanita disebelahnya.
“Iya, padahal keren banget kalo masih bisa jernih kayak
gini, keliatan batu-batunya.”
“Semoga aja deh. Coba semua yang datang kesini bisa pada
sadar buat enggak buang sampah sembarangan ya. Pasti kita bisa liat hiu yang
datang, haha”
“nggak mungkin, liat deh.” kata lelaki itu sambil menunjuk
beberapa sampah plastik bekas makanan dan botol aqua yang sudah teronggok manis
di sela semak-semak menuju pantai.
Kisah kedua
Aku bertemu mereka lagi di jalan setapak parkiran. Mereka
tertawa terbahak-bahak sulit berhenti. Aku baru tau penyebabnya ketika mereka menceritakan
apa yang mereka alami pada bapak paruh baya penjaga pantai, dan aku ngggg...
mengupingnya. Ugh, akhirnya harus kuakui! haha. Mereka terpeleset tanah licin
karena ada genangan air. Hei, mereka terjatuh tapi bisa tertawa. Aku sengaja
berjalan di belakang mereka agar bisa mendengar lebih jelas.
“Kenapa tadi aku malah ketawa ya?” tanya wanita itu.
“Iya ah kamu itu, padahal tadi aku udah khawatir takut kamu
kejepit.” Sahut lelakinya.
“Haha, untung aku bisa langsung loncat turun ya, keren
banget refleknya.”
“iya keren, tapi sampe lupa nolongin. Ambil tas aja pake
disuruh.” Kata laki-laki itu sambil pura-pura kesal.
“Hahaha, iya ya. Aku bukannya nolongin malah ketawa. Duh,
nggak peduli banget ya aku.”
“Iya egois kamu tuh.”
“Iya aku egois, maaf ya.” Wanita itu terlihat agak kesal
dengan perkataan laki-laki disebelahnya.
“Haha, nggak papa. Besok belajar lagi pedulinya. Lagian tadi
aku juga nggak kenapa-kenapa, malah ikutan ketawa.”
Kisah ketiga
Kami makan di sebuah warung makan yang sama ketika itu
karena mendadak hujan turun di perjalanan pulang dan kami ternyata memilih
untuk sama-sama berteduh disana. Kami, aku dan kedua orang itu. Seriusan, kali
ini aku tak sengaja mengikutinya, serius! Haha. Mereka duduk menghadap keluar,
dan aku mengambil posisi diseberangnya. Yang wanita sibuk makan jajanan,
sedangkan yang laki-laki makan mi ayam.
“Kamu ada cerita apa? Cerita dong.” Minta lelaki itu karena
mereka sudah cukup lama jeda.
“Mmm.. apa ya, tak ceritain tentang gadis penjual korek api
ya?” kata perempuan itu, niat bercanda.
“Hah? Cerita apa itu?”
“Hah? Masa kamu gak tau? Masa kecilmu nggak bahagia banget,
ckck.”
“Hahaha, aku belum pernah denger tuh, ngarang kamu.”
“Enak aja, beneran ada, nanti deh ku-searching-in. Awas ya, kalo kebukti ada traktir eskrim.”
“Haha, emang beneran ada? Gimana ceritanya?”
“Haha, emang beneran ada? Gimana ceritanya?”
“Pokoknya besok kalo ke toko buku mau beliin kamu buku
dongeng. Biar kamu nggak udik, haha.”
“Hahaha, iya iya, gimana ceritanya? Cepet ceritain.”
“Hahaha, iya iya, gimana ceritanya? Cepet ceritain.”
Kisah keempat
Kali ini aku sudah berniat untuk berhenti ‘menyimak’ mereka.
Sudah waktunya benar-benar pulang, hahaha. Sudah malam. Terakhir kami berada
dalam posisi dekat adalah ketika di lampu merah dan kendaraanku berhenti di
sebelah kendaraan mereka.
“Kemarin liat ILC nggak kamu?” tanya lelaki itu.
“Enggak, kenapa emang?”
“Itu, mereka ngangkat lagi kasus Antasari. Ternyata emang
belum selesai kasusnya.”
“Oh iya, udah nggak pernah dibahas lagi ya, nggak jelas juga itu akhirnya gimana.”
“Oh iya, udah nggak pernah dibahas lagi ya, nggak jelas juga itu akhirnya gimana.”
“Iya, gara-gara itu aku malah jadi baca-baca soal kasusnya,
dan ternyata udah banyak bukti yang nunjukin kalo dia sebenernya nggak
bersalah.”
“Weh, iyakah? Keren banget berarti ya nutupinnya. Iyasih,
keliatan kalo sebenernya dia cuma dijebak. Kasian.”
“Eh, tugasmu udah selesai belum kemarin?” tanya lelaki itu.
“Ya selesai satu nambah yang lain. Tiap hari numpuk.” Wanita
itu mengeluh.
“Wah, berarti tugasnya kayak sayangku ke kamu ya, tiap hari
semakin numpuk, hahaha.” Mereka berdua sama-sama tertawa, sama-sama terlihat
malu blesteran senang. Duh, so sweet.
Aku meringis. Aku sudah mendapat kesimpulan, statusnya sudah tak perlu diterka lagi, dan itu cukup
untuk mengakhiri lamunanku sore ini. Hei, kau tau, ternyata segala sesuatu yang
berhubungan dengan kata ‘kita’, akan selalu menyenangkan justru ketika tidak
melulu membicarakan tentang ‘kita’, kan? *kedip-kedip* :D
Sesungguhnya berbicara denganmu, tentang segala hal yang bukan tentang kita..
Mungkin, tentang ikan paus di laut, atau mungkin tentang bunga padi di sawah..
Sungguh bicara denganmu, tentang segala hal yang bukan tentang kita,
Selalu, bisa membuat semua lebih bersahaja..
(Payung teduh – Mari Bercerita)
Belahan bumi paling abstrak, 6-12-14
7 : 07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar