Beranda

Jumat, 01 November 2013

Hati Yang (Dipaksa) Mati


Seorang datang. Menenteng sebungkus paku.
Tak terhingga jumlahnya.
Satu per satu, dilemparkannya ke arah hati,
bak pemanah handal tepat sasaran,
meleset pun tak pernah keluar dari perasaan.
Lalu hati pun penuh lubang.
Darah berkubang.

Seorang lain datang. Membawa palu ukuran besar.
Satu saja, tapi cukup kuat untuk membuat remuk sekitar.
Sekali dihantamkannya ke arah hati,
bak tukang kayu yang memotong lihai hasil jarahannya.
Sekali pukul perasaan berdebam.
Lalu hati memar-memar.
Luka menganga di dalam, dalam.

Beberapa orang lain datang, rombongan.
Tak membawa apa-apa,
Lewat begitu saja.
Melontarkan ludah yang entah berapa tahun ditahannya.
Meludahkan kata-kata yang sepantasnya diumpat manja.
Menghakimi hati yang jelas sudah tak bernyali.
Membunuh tiada henti,
Menghabisi.

Tak lama pemiliknya hadir menyisir sisa-sisanya.
Melihat dengan buliran kaca,
Berteriak penuh benci,
hati yang sudah tak pantas untuk ditangisi.
Seluruhnya sekarang hadir, ikut mencaci.
Membisu seperti belati, diam tapi siap mati.
Tidak ada baik yang terlihat, benar yang tersaji.
Yang ada hanya salah dan dengki.

Semua yang terpuji memang seakan tidak dapat dicari.
Tak kasat mata.
Langka.
Tak pantas untuk diterka, apalagi dibela.
 B a j i n g a n !

Pemilik hati pun lalu mati.
Tanpa royalti,
hanya teronggok basi,
dan sekali lagi, tetap dimaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rain Cloud